RagamWarta.com – Tekanan, godaan, hingga ancaman bukan hal asing bagi Dian Nur Pratiwi dalam menjalankan tugasnya sebagai Ketua (Pengadilan Negeri) PN Trenggalek
Di balik jubah hakim yang ia kenakan, tersimpan keteguhan hati seorang perempuan yang memilih tetap lurus di jalan integritas, meski taruhannya adalah kenyamanan pribadi hingga keselamatan keluarga.
“Godaan itu ada, apalagi kalau menangani perkara besar. Saya pernah dipanggil seseorang yang bilang ada ‘titipan’,” kisah Dian saat dikonfirmasi awak media, Rabu (16/4/2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tawaran tersebut dengan tegas ia tolak. Namun, penolakannya tidak berhenti di situ dan bahkan ancaman pun silih berganti datang dan pergi.
“Waktu saya tolak, ada yang bilang, ‘Hati-hati, Bu. Anak-anak ibu sekolah di mana?’ Saya tahu itu ancaman. Tapi saya yakin, ketika kita benar dan tidak menyimpang, Tuhan akan jaga,” ungkapnya.
Bagi Dian, keteguhan hati memegang prinsip keadilan menjadi fondasi utama yang membuatnya tetap tegak di tengah arus kompromi. Ia yakin keputusan seorang hakim bukan hanya dipertanggungjawabkan kepada atasan, tapi juga kepada Tuhan.
Sebagai perempuan, ia juga menghadapi tantangan diskriminatif. Salah satunya terjadi saat ia diundang dalam acara resmi, namun justru diposisikan duduk bersama istri pejabat alih-alih di kursi pimpinan.
“Saya bilang, tolong hormati jabatan, bukan jenis kelamin,” katanya.
Kepemimpinan Dian di lingkungan pengadilan dijalankan dengan pendekatan inklusif dan berbasis hati. Ia menekankan pentingnya membangun kenyamanan kerja.
“Saya tidak ingin menciptakan jarak. Kalau bawahan merasa nyaman, mereka akan semangat bekerja. Saya lebih suka memberi contoh daripada hanya memberi perintah,” tuturnya.
Di balik ketegasan dan prinsip yang kuat, Dian juga menjalankan peran sebagai istri dan ibu dari empat anak. Sejak awal meniti karier sebagai calon hakim, ia dan suaminya sepakat untuk menerima konsekuensi profesi yang menuntut mobilitas tinggi.
“Sejak awal saya sampaikan, nanti kita akan tinggal terpisah. Tidak bisa satu kota terus karena penempatan saya bisa berpindah-pindah,” jelasnya.
Suaminya, yang sebelumnya berprofesi sebagai notaris, sempat ikut pindah ke Takalar, Sulawesi Selatan. Namun saat penempatan Dian berpindah ke Magelang dan Wonosobo, sang suami memilih menjadi dosen dan menetap di kota asal demi stabilitas pendidikan anak-anak.
“Di rumah, saya adalah istri dan ibu. Kami punya kesepakatan tidak membawa pekerjaan kantor ke rumah,” katanya.
Kemandirian menjadi nilai penting dalam keluarga mereka. Sejak anak bungsu masuk TK, mereka tidak lagi menggunakan jasa asisten rumah tangga. Dian membiasakan anak-anaknya bertanggung jawab atas urusan pribadi, mulai dari membereskan kamar hingga mengatur jadwal belajar.
Meski terpisah jarak, ia tetap menjaga kedekatan emosional dengan anak-anak melalui komunikasi yang disesuaikan dengan karakter masing-masing. “Anak saya yang introvert biasanya pelan bicara. Jadi saya dekati lewat pelukan, lewat kehadiran,” ujarnya.
Kebersamaan keluarga tetap terjalin erat. Mereka rutin makan bersama sebulan sekali saat Dian pulang. Anak-anak pun merasa lebih nyaman berbagi cerita kepada ibunya.
“Saya bukan hanya ibu, tapi juga teman bagi mereka,” ungkapnya dengan hangat.
Menutup wawancara, Dian menyampaikan pesan kepada perempuan muda agar tidak ragu berkarier dan tetap menempuh pendidikan tinggi.
“Perempuan wajib berpendidikan tinggi. Bukan semata untuk karier, tapi karena perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Kalau diberi karier, itu bonus,” pungkasnya.

Semangat Kartini dalam Sosok Dian Nur Pratiwi
Keteguhan Dian Nur Pratiwi dalam menjaga integritas, keberaniannya menolak suap, hingga kemampuannya menjalankan peran ganda sebagai pemimpin dan ibu, mencerminkan semangat Kartini di masa kini.
Ia bukan hanya membuktikan bahwa perempuan mampu berdiri tegak di tengah tekanan, tapi juga menegaskan bahwa kepemimpinan berbasis nilai, hati, dan ketegasan dapat tumbuh dari ruang-ruang yang dulu dibatasi oleh stereotip.
Di Hari Kartini ini, sosok Dian menjadi pengingat bahwa perjuangan perempuan tidak berhenti pada pintu kesetaraan, tapi terus menyala dalam kerja nyata, keteladanan, dan keberanian untuk tidak tunduk pada kompromi.
Seperti pesan yang ia sampaikan, perempuan harus terus belajar dan berdaya, karena dari tangannyalah, generasi masa depan dibentuk.











